Apakah Mereka Juga Pahlawan Tanpa Tanda Jasa?

Yunita Catur Sari
Guru TPA Ar-Raihan

Mendidik anak berusia di bawah tiga tahun memang tidak mudah, bahkan dalam kondisi tertentu bisa jadi lebih sulit dari mendidik anak usia empat tahun atau lima tahun. Anak usia empat dan lima tahun biasanya sudah bisa diajak berkomunikasi dengan baik juga mudah diatasi. Berbeda dengan anak yang usianya masih di bawah tiga tahun. Bisa dibayangkan bagaimana kalau anak-anak ini ngompol di kelas, buang air besar di celana, minta dibuatkan susu, atau merengek minta di suapin saat makan siang. Itu pula yang dilakukan ibu-ibu hebat di Taman Pengasuhan Anak Islam Terpadu (TPAIT) Ar Raihan. Setiap hari mereka membersamai anak didik tercinta dengan penuh kesabaran dan kasih sayang layaknya anak sendiri.

Sekitar pukul 07.15 anak-anak sudah mulai berdatangan, penuh kehangatan dan senyuman yang tulus bu guru menyambut mereka. Dengan berat anak harus melepaskan gandengannya dan merelakan orang tuanya pergi bekerja. Wajah polos mereka tidak bisa berbohong, bahwa mereka masih ingin bersama dan bermanja-manja dengan orang tua. Tapi apa boleh buat, para orang tua harus pergi bekerja untuk mencukupi kebutuhan yang semakin banyak. Si anak pun melepas kepergian orang tuanya dengan air mata. Dengan penuh kasih sayang bu guru memeluk anak itu dan menenangkannya. Sungguh, lega rasanya ketika anak sudah tersenyum dan ceria kembali.

Itulah yang dirasakan oleh Ari Suryani (33) yang sudah bekerja sebagai pendidik TPA sejak tujuh tahun lalu, saat sekolah ini sedang berdiri dan dirintis oleh Yayasan Ar Raihan. Berdua dengan Umiyati (37), Ibu Ari Suryani mengasuh anak-anak guru yang mengajar di Ar Raihan. Dari pagi sampai sore bahkan sesekali hingga petang menjelang malam mereka baru pulang. Mereka berdua berangkat dari rumah bersama-sama, boncengan dengan sepeda motor. Saat itu mereka masih lajang.

Saat ini, keduanya telah berkeluarga. Begitu juga dengan sekolah ini, sudah berkembang dan mempunyai anak didik yang terus bertambah setiap tahunnya.

Smille Never End

Kini sekolah ini sudah mempunyai sepuluh guru, mereka berjuang bersama-sama demi anak-anak generasi bangsa. Dikoordinasi oleh Azizah Fakhrul Hayati (36) dan dibantu teman-temannya yaitu Mariyah (33), Siti Fatimah (28), Aryati (25), Utami (32), Nur Halimah (25), Rustini (40), dan guru yang masih sangat belia Yunita Catur Sari (20). Selain sebagai tempat kerja, sekolah ini sudah seperti rumah kedua bagi mereka. Satu sama lain saling pengertian, dan seperti saudara sendiri. Yang membuat tempat ini semakin sejuk dan siapa pun akan kerasan berlama-lama di sini adalah senyum dan keramahan dari bu guru semua, di tambah keceriaan anak-anak dan celotehannya yang lucu.

“Saya itu seneng lihat anak-anak yang ceria, apa lagi kalau mereka sedang bercerita dengan temannya dengan bahasa yang belum jelas, dan tingkahnya itu lho, lucu banget,” tutur Bu Azizah sambil terkekeh karena tidak bisa menahan tawa.

Kalau ditanya mengapa memilih bertahan bekerja di sini daripada di pabrik, padahal secara materi lebih besar penghasilan di pabrik, Siti Fatimah mengungkapkan, “Kerja di sini tu enak, lebih nyantai dan ndak dikejar target jam kerjanya juga sampai siang, jadi saya masih bisa melakukan aktivitas lainnya di rumah. Setiap hari bisa tertawa dan bercanda, seneng walau gajinya memang tidak sebanyak di pabrik”. Itu bisa diartikan bahwa bekerja di sini bukan semata-mata mencari materi tapi lebih dari sekedar materi, yaitu tabungan di akhirat kelak. Walau tidak bisa dipungkiri bagi ibu yang sudah berkeluarga memang punya kebutuhan yang lebih banyak, tapi itu bukanlah suatu penghalang, mereka tetap semangat menjalankan amanah ini.

Menjadi Ibu dan Teladan yang Baik

Dalam pekerjaan ini kesabaran memang modal utama, kelembutan dan kasih sayang yang diberikan pun layaknya seorang ibu terhadap anaknya. Guru yang belum menikah juga harus bisa berperan sebagai ibu. Pendidikan dasar yang diberikan kepada anak adalah kemandirian, bagaimana anak bisa makan sendiri tanpa disuapi, pakai celana sendiri, dan perlahan diajarkan BAK (buang air kecil) tanpa bantuan. Selain kemandirian, sosial emosi juga menjadi palajaran yang penting untuk anak. Mengajari bagaimana bergaul dengan teman sebaya, mau minta maaf dan memaafkan, senang berbagi, mau mengucap salam saat datang dan pulang sekolah. Memang terlihat sepele, tetapi tidak bisa secara instan diterima anak.

Untuk mencapai semua target itu dibutuhkan kerja keras yang tidak sebentar. Setiap hari secara perlahan para ibu ini tanpa bosan mengajarkan pada anak pembiasaan yang baik itu. Tidak sekadar mengajarkan tapi juga harus memberi teladan/contoh pada anak, karena dengan melihat anak bisa merekam kemudian melakukan hal yang telah dilihatnya. Semua itu dilakukan berulangkali tanpa ada bosannya. Layaknya seorang ibu mendidik anaknya sendiri.
Apakah sampai di sisni saja perjuangan mereka? Tentu saja tidak, masih banyak hal yang harus dikerjakan, itu baru sebagian kecil tugas para kartini ini. Selain kemandirian dan sosial emosi guru juga mengajarkan yang berhubungan dengan kognitif dan fisik motorik, semua dikemas dalam kegiatan bermain yang menarik. Karena anak seusia batita tidak bisa lepas dengan bermain, jadi semua pembelajaran disampaikan dengan kegiatan bermain.

Sekilas terlihat mudah pekerjaan ini, tapi kalau dicermati dan terjun langsung, sungguh, satu kata yang akan terucap “subhanalloh”, begitu sabar dan hebat nya mereka, mendidik anak dari berbagai kalangan dan berbagai macam karakter. Jika anda mempunyai seorang putra dengan usia batita pasti ingin menyekolahkannya di sini.

Masih dipandang sebelah mata

Pada tahun 2011 banyak sekali dibuka sekolah PAUD, dan di tahun 2012 ini baru gencar-gencarnya di sosialisasikan pentingnya pendidikan pada anak usia dini. Tapi profesi ini kurang diminati oleh sebagian banyak orang, justru ibu-ibu PKK-lah yang berperan aktif dalam menyukseskan PAUD.

Guru di TPAIT Ar-Raihan sendiri sebagian besar sudah berkeluarga. Karena faktor latar belakang pendidikan sebagian besar adalah SMA dan juga kebutuhan yang harus dipenuhi, mereka memutuskan tetap bertahan. Bukan sekadar itu saja, tetapi lebih pada kecintaan dan kepedulian kepada anak didiknya. Walau tak jarang perjuangan mereka seakan-akan tak terlihat di hadapan umum, bahkan orang dengan mudah mengatakan “hanya guru PAUD, momong anak kecil”.

Apakah mereka sadar, bahwa anak-anak ini adalah generasi harapan bangsa? Yang kelak akan mengharumkan nama bangsa. Dengan pendidikan yang tepat terutama pendidikan akhlak yang telah ditanamkan sejak dini kelak akan menjadikan mereka pemimpin yang bisa menjadi teladan.

Di sinilah sesungguhnya perjuangan yang terberat, karena para guru harus membangun pondasi yang kuat, agar kelak bangunannya kokoh dan tidak mudah roboh. Dengan kemandirian dasar yang telah diajarkan, juga pembiasaan baik yang selalu dilakukan ini akan memudahkan guru pada pendidikan jenjang selanjutnya. Jadi, ketika anak lulus dari TPAIT mereka sudah mempunyai bekal dan karakter anak sudah mulai terbentuk.

Apa yang Sudah Diberikan Kepada Mereka?

Walaupun telah berusaha memberi pelayanan semaksimal mungkin, tetapi masih saja ada yang dikomplain dan kurang memuaskan. Walaupun begitu mereka tak pernah mempersoalkan semua komplain maupun ketidakpuasan, tetapi justru menjadikan pelajaran yang berati dan berguna untuk meningkatkan kualitas mereka.

Perjuangan dan kerja keras yang tak kenal lelah ini persis seperti yang Kartini ajarkan kepada kita untuk kemajuan pendidikan di Indonesia. Tapi apakah orang di luar sana beranggapan sama seperti ini?
Keteladanan, kesabaran, dan keikhlasan mereka seharusnya mendapatkan penghargaan dan pengakuan. Merekalah sosok kartini yang tak pernah terlihat di mata kita, juga tak pernah terlintas di benak kita. Yang kita tahu selama ini adalah mereka hanyalah seorang pendidik PAUD yang bermain-main dengan anak kecil dan peran mereka tidak terlalu penting untuk generasi muda, terutama kemajuan pendidikan di negeri ini.

Seharusnya kita bangga karena di tengah-tengah kita telah hadir ibu-ibu hebat dengan ide yang berlian. Walau mereka bukan guru, lebih tepatnya pendidik tapi merekalah pahlawan tanpa tanda jasa yang sesungguhnya, karena perjuangannya mendidik anak-anak yang benar-benar dimulai dari nol. Tak heran jika tidak semua orang sanggup menjalani profesi ini. Tanggung jawab yang besar ada di tangannya, selain tanggung jawab kepada orang tuanya kelak juga akan dipertanggung jawabkan di hadapan Alloh SWT.

Anak-anak tak pernah tau dan penduli apakah mereka guru atau pendidik, dan anak-anak tetap memanggil mereka ‘bu guru’. Biarlah perjuangan mereka menjadi salah satu amal kebaiakan. Kelak Alloh yang akan memberikan balasan atas kebaikannya.