Sabjan Badio
Siska Yuniati
10 Maret 2009. Seorang manajer pernah bercerita bahwa dulunya dia tidak memiliki kemampuan memimpin. Sekarang, justru kemampuan tersebutlah yang menonjol pada dirinya. Sayang sekali, itu hanya pengakuan sepihak, pernyataan subjektif. Tidak ada tolok ukur yang jelas sebagai dasar pernyataan tersebut. Padahal, berdasarkan pengamatan satu di antara bawahannya, si manajer justru lebih cenderung suka memerintah. Kami pun bertanya-tanya, memangnya sama memimpin dengan memerintah?
Belakangan, ada ada konsep yang kami pahami tentang pemimpin, kepemimpinan, pemerintah, dan pemerintahan. Berdasarkan bahasanya, pemerintah berasal dari kata perintah, pe.rin.tah. Perintah berarti ‘suruhan atau perkataan yang bermaksud menyuruh melakukan sesuatu’. Pemerintah sendiri mengacu pada sebuah ‘sistem atau kelompok yang mempunyai wewenang atau kekuasaan mengatur kehidupan sosial, ekonomi, dan politik suatu negara atau bagian-bagiannya’. Pemerintah dapat pula diartikan sebagai ‘orang yang memberi perintah’. Sementara memerintah adalah ‘memberi perintah, menyuruh melakukan sesuatu, menguasai dan mengurus’. Hak untuk memerintah biasanya berkenaan dengan kedudukan dan pangkat sesorang, dengan kata lain ada legitimasi yang memberikannya hak untuk memberi perintah. Si penerima perintah biasanya mau tidak mau harus melakukan karena perintah adalah kewajiban baginya.
Sementara itu, pemimpin berasal dari kata pimpin, pim.pin, yang berarti ‘orang yang memimpin’, dapat pula diartikan sebagai ‘petunjuk’, misalnya buku petunjuk. Sementara memimpin, memiliki makna yang lebih luas lagi, di dalamnya terkandung pengertian ‘mengetuai, mengepalai, memenangkan paling banyak, memegang tangan seseorang sambil berjalan (untuk menuntun, menunjukkan jalan, dsb), membimbing, memandu, melatih (mendidik, mengajari, dsb) supaya dapat mengerjakan sendiri’. Berdasarkan penjelasan tersebut, pemimpin tidak harus seseorang yang menduduki jabatan atau pangkat tertentu. Yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah karakter yang pas, metode yang sesuai, serta perilaku yang mencirikan posisinya.
Dari uraian tersebut terlihat bahwa memerintah dan memimpin memiliki pengertian yang berbeda. Dalam kata memerintah tidak ada unsur keikutsertaan si pemberi perintah. Tugasnya berakhir pada batas perintah tersebut sampai ke orang yang diberi perintah. Kemudian, haknya adalah mendapatkan hasil maksimal atas tugas yang diberikan tersebut. Konsep ini memang pernah diterapkan di nusantara pada masa feodalisme di mana posisi yang lebih tinggi memiliki hak untuk menyuruh dan mendapatkan hasil dari perintahnya tanpa perlu campur tangan (berkewajiban) atas proses pencapaiannya. Dalam tatanan feodal tersebut, orang yang mendapat perintah biasanya akan menerima hukuman jika tidak dapat menunaikan perintah dengan baik. Bahkan, walaupun telah menunaikannya secara maksimal, ia akan tetap mendapat sanksi saat usaha-usahanya tidak menunjukkan pencapaian sesuai keinginan pemerintah.
Lebih Jauh tentang Kepemimpinan
Dewasa ini, seseorang yang berada di posisi mengepalai atau mengetuai suatu lembaga, sublembaga, baik skala kecil ataupun besar, harus memilik jiwa kepemimpinan, bukan kemampuan memerintah. Seorang pemimpin saat memerintah akan melalui berbagai pertimbangan, pembelajaran, dan pembimbingan untuk menuju pencapaian yang maksimal. Dengan kata lain, pemimpin ada di semua proses pencapaian tersebut, ikut bertanggung jawab secara menyeluruh. Pemimpin harus melayani mereka yang dipimpinnya.
Kenyataannya saat ini, pemimpin banyak yang minta dilayani, menuntut fasilitas, dari orang-orang yang seharusnya dilayaninya. Blanchard, dkk. (www.sinarharapan.co.id ) mengungkap ada tiga aspek kepemimpinan yang melayani, yaitu (1) hati yang melayani (servant heart), (2) kepala atau pikiran yang melayani (servant head), dan (3) tangan yang melayani (servant hands).
Pertama, hati yang melayani. Ini berkaitan dengan karakter pemimpin. Kepemimpinan yang melayani dimulai dari dalam diri. Kepemimpinan menuntut suatu transformasi dari dalam hati dan perubahan karakter. Kepemimpinan sejati dimulai dari dalam dan kemudian bergerak ke luar untuk melayani mereka yang dipimpinnya. Disinilah pentingnya karakter dan integritas seorang pemimpin untuk menjadi pemimpin sejati dan diterima oleh rakyat yang dipimpinnya.
Ciri-ciri dan nilai yang muncul dari seorang pemimpin yang memiliki hati yang melayani, yaitu (1) bertujuan melayani kepentingan mereka yang dipimpinnya, (2) memiliki kerinduan untuk membangun dan mengembangkan mereka yang dipimpinnya sehingga tumbuh banyak pemimpin dalam kelompoknya karena keberhasilan sebuah organisasi sangat tergantung pada potensi SDM dalam organisasi tersebut, (3) memiliki perhatian kepada mereka yang dipimpinnya, (4) akuntabilitas, dengan kata lain penuh tanggung jawab dan dapat diandalkan.
Pemimpin yang melayani adalah pemimpin yang mau mendengar. Mau mendengar setiap kebutuhan, impian, dan harapan dari mereka yang dipimpinnya. Pemimpin yang melayani adalah pemimpin yang dapat mengendalikan ego dan kepentingan pribadinya demi kepentingan publik atau mereka yang dipimpinnya. Mengendalikan ego berarti dapat mengendalikan diri ketika tekanan maupun tantangan yang dihadapi menjadi begitu berat. Pemimpin sejati selalu dalam keadaan tenang, penuh pengendalian diri, dan tidak mudah emosi.
Kedua, kepala yang melayani. Ini berkaitan dengan metode yang digunakan pemimpin. Seorang pemimpin harus memiliki metode kepemimpinan yang baik agar dapat menjadi pemimpin yang efektif. Ada tiga hal penting dalam metode kepemimpinan, yaitu (1) visi yang jelas, (2) responsif, (3) pelatih atau pendamping bagi orang-orang yang dipimpinnya (performance coach). Pemimpin yang baik harus mampu menginspirasi, mendorong, dan memampukan anak buahnya dalam menyusun perencanaan (termasuk rencana kegiatan, target atau sasaran, rencana kebutuhan sumber daya, dan sebagainya), melakukan kegiatan sehari-hari (monitoring dan pengendalian), dan mengevaluasi kinerja dari anak buahnya.
Ketiga tangan yang melayani. Ini berkaitan dengan perilaku kepemimpinan. Pemimpin sejati bukan sekadar memperlihatkan karakter dan integritas, serta memiliki kemampuan dalam metode kepemimpinan, tetapi dia juga harus menunjukkan perilaku maupun kebiasaan seorang pemimpin. Ada empat perilaku seorang pemimpin, yaitu (1) tidak hanya sekadar memuaskan mereka yang dipimpinnya, tetapi sungguh-sungguh memiliki kerinduan senantiasa untuk beribadah kepada Tuhan, (2) fokus pada hal-hal spiritual dibandingkan dengan sekedar kesuksesan duniawi, (3) senantiasa mau belajar dan bertumbuh dalam berbagai aspek, baik pengetahuan, kesehatan, keuangan, relasi, dan sebagainya, dan (4) senantiasi menyelaraskan (recalibrating) dirinya terhadap komitmen untuk beribadah kepada Tuhan dan sesama melalui solitude (keheningan), prayer (doa) dan scripture (membaca kitab suci, untuk umat Islam tentu saja Al-Quran).
Jadi, siapkah anda memimpin?
RUJUKAN
Kamus Besar Bahasa Indonesia, pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi, diunduh 10 Maret 2009 Pukul 10.00 WIB.
“Makna Kepemimpinan”, motivation.byethost9.com, diunduh 10 Maret 2009 pukul 10.00 WIB.
“Kepemimpinan yang Melayani”, www.sinarharapan.co.id, diunduh 10 Maret 2009 pukul 10.00 WIB.