Karena Aku Mencintaimu, Anakku…

Slamet, S.Ag., M.Si.
Ketua Yayasan Ar-Raihan

Pendidikan bukan segalanya,
akan tetapi… segalanya dimulai dari pendidikan!

Islam memberikan perhatian yang sangat besar terhadap persoalan pendidikan, salah satu bentuknya Allah SWT mengingatkan kita untuk benar-benar memperhatikan nasib para generasi penerus:

009. Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. (QS. An-Nisa’: 9)

Setiap orangtua pasti tidak menginginkan anaknya lemah; maka sangat wajar bila mereka berupaya memberikan pemenuhan atas kebutuhan pendidikan anaknya – bagaimana pun caranya! Akan tetapi, satu hal yang perlu kita ingat adalah bahwa pendidikan yang diperlukan anak bukan sekadar untuk mengejar prestasi akademik yang diwakili dengan selembar ijazah atau nilai ujian akhir (nasional); melainkan bagaimana anak dapat tumbuh dan berkembang pada semua potensi dalam dirinya, baik aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik.

Pendidikan adalah untuk membentuk karakter (watak), bukan sekadar cerdas atau pandai tetapi tanpa landasan moral. Penelitian membuktikan bahwa kecerdasan kognitif (akademik) hanya memberikan kontribusi bagi keberhasilan individu maksimal 20%, sementara yang 80% dipengaruhi oleh kecerdasan lainnya, yaitu: kecerdasan emosi, kecerdasan sosial, kecerdasan spiritual dan sebagainya. Maka menjadi suatu hal yang perlu untuk kita koreksi bersama, manakala pada zaman sekarang ada orang tua menekan anak-anaknya untuk meraih prestasi akademik dengan cara di-drill, dicecar dengan berbagai beban akademik. Di sekolah, anak sudah banyak tugas, waktu habis untuk pengayaan materi atau les resmi dari sekolah; ternyata sampai di rumah masih ada lagi yang dengan teganya menyuruh ikut bimbel hingga malam hari.

Seorang ulama dan pemerhati pendidikan terkenal, yaitu Dr. Abdullah Nashih Ulwan mengingatkan para orangtua, bahwa kebutuhan pendidikan anak yang perlu dipenuhi oleh para orangtua ada tujuh macam, yaitu pendidikan (1) iman, (2) moral/akhlaq, (3) fisik/jasmani, (4) rasio/akal/akademik (5) mental kejiwaan, (6) sosial, dan (7) seksual. Dengan demikian, apabila kita hanya fokus pada pendidikan akal /formal akademik semata, maka masih ada enam aspek yang belum didapatkan oleh anak-anak kita! Lalu, dari mana mereka harus temukan?

Satu kenyataan, bahwa menurut data penelitian dari sumber terpercaya; sekadar contoh, di Indonesia ini sejak tahun 2004 – 20011 terdapat 158 kepala daerah yang tersangkut korupsi (belum termasuk yang terduga/ terindikasi; belum lagi yang memang korupsi tapi begitu pandainya mengelabui petugas, apalagi para pejabat lain yang bukan kepala daerah dst.. dst). Kita tahu, para pejabat tersebut tentu orang terdidik. Tetapi, apa yang bisa kita katakan pada mereka?

Pendidikan macam apakah yang telah terselenggara di masyarakat selama ini? Banyak orang terdidik, tetapi seberapa banyakkah yang memiliki karakter (watak) yang mulia; yang mereka memiliki hati, tanggungjawab moral, perasaan takut pada Tuhan Allah. Kiita tidak ingin hanya menjadikan anak kita cerdas dengan nilai akademik melangit, namun hatinya mati. Di sinilah saatnya kita bertolak.

Para orang tua harus menyadari bahwa hitam putihnya warna kehidupan anak di masa mendatang merupakan tanggungjawab penuhnya, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda,” Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), maka orang tuanya yang akan menjadikan anak itu sebagai yahudi, nasrani, atau majusi.”. Hal ini mengingatkan bahwa, orang tualah yang membentuk karakter/watak kepribadian anak, bukan yang lain.

Bagaimana dengan pendidikan formal? Sekolah, hanyalah tempat untuk membantu tercapainya pemenuhan materi. Tetapi bagaimana memaknai dan mengimplementasikannya dalam kehidupan sangat dipengaruhi nilai atau norma yang dibangun dalam keluarga. Seringkali dijumpai, anak di sekolah telah memperoleh materi pendidikan yang mulia, tetapi hal itu menjadi mentah kembali karena nilai atau norma dalam keluarga tidak jelas, atau bahkan bertolak belakang dengan yang dibiasakan di sekolah..

Bapak/ibu yang dirahmati Allah. Mencintai anak tidak mesti bersikap memanjakan atau menuruti kemauan anak. Tidak juga over protectif; sehingga anak tidak mengenal dunia luar. Melainkan seimbang antara melayani dan mengatur, antara menuruti keinginan dan menuntut komitmen, kedisiplinan. Dalam hal ibadah misalnya, orangtua perlu mengondisikan bagaimana menjadi salah satu tata nilai dalam keluarga, sedangkan praktiknya bisa didiskusikan dengan anak (dan keluarga) agar semua dapat berjalan kondusif.

Demikian juga dalam hal lain, misalnya pendidikan formal; bila anak sudah saatnya melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, maka perlu dikomunikasikan dengan baik tentang ke manakah si-anak mau sekolah. Kadangkala, orangtua memiliki idealisme yang tidak sejalan dengan keinginan anak, atau bahkan tidak sesuai dengan kemampuan anak. Bapak/ibu, sekolah di mana pun bukan masalah; tidak harus di tempat favorit atau bergengsi. Seseorang sukses bukan karena dia sekolah di mana, melainkan bagaimana para orang tuanya telah mendidiknya, menjadi teladan dalam kehidupan sehari-hari sang anak.

Maka jadilah sahabat bagi anak. Katakan, bahwa segala yang kita lakukan adalah untuk mereka. Katakanlah, ini semua aku lakukan karena aku mencintaimu, anakku..

Masa depan adalah milik anak-anak kita, maka jadilah para orangtua yang bijak untuk mengantarkan mereka menuju cita-citanya. Sebagaimana Kahlil Ghibran, seorang penyair Timur Tengah mengatakan:

Anak-anakmu adalah bukan milikmu
Mereka adalah milik sang waktu
Mereka adalah anak panah yang akan melesat menuju masa depan
Maka jadilah kalian busur yang kokoh bagi anak panah itu ….

Wallohu a’lam bishawab